Aku sendiri, malam ini. Lebih tepat lagi, 'menyendiri'. Menikmati sepi
dan menghindari hiruk pikuk suara manusia. Ditemani The Corrs dengan
'Everybody Hurts'-nya. Entah apa yang sedang aku cari dengan kesendirian
ini. Aku hanya duduk memandangi bintang, langit, dan suasana galaksi
bima sakti. Bengong, tak keruan juntrungannya.
Aku menghela nafas dalam-dalam ketika aku harus menyadari siapa diri
ini sepenuhnya. Ditambah lagi dengan hadirnya kenyataan bahwa ada
beberapa manusia yang menyandarkan harapannya pada punggung kurusku. Harapan
hidup? Bukan. Tak sebesar itu. Hanya semacam harapan Zulaikha pada
Yusuf, atau seperti Harapan Balkis pada Sulaiman. Atau terpekur lama sekali.
Mencoba memandang
wajah mereka yang tulus. Tentu saja, tidak pada waktu yang bersamaan.
Tetapi pada waktu yang berlainan, pada masa yang berbeda. Aku ingin
sekali benar-benar merasakan bahwa memang mereka adalah Zulaikha, bukan
Aisyah. Mereka adalah Balkis, bukan Fatimah. Aku terenyuh, ketika
menyadari bahwa mereka adalah jiwa-jiwa yang suci, yang bersih dan ya jiwa yang
senantiasa dikerubuti sifat-sifat manusia, bukan binatang. Baik, jujur,
suka menolong, sabar, ramah, murah senyum, cantik, bersih, dan beberapa
sifat lain yang memang seharusnya dimiliki manusia, setia dan patuh.
Aku menghela nafas dan menghembuskannya kencang sekali, berusaha
melemparkan sesak di dada ini. Aku? Aku...? Siapakah aku ini? Seorang Raja?
Seorang Saudagar? Seorang Konglomerat? Sehingga mereka seakan begitu
yakin, akulah Sulaiman, Akulah Yusuf. Aku? Siapakan seonggok daging busuk
yang berjalan ini? Yang hampir setiap hari mengeluh pada manusia. Yang
hampir setiap saat mencaci TUHANnya. Mereka tak pernah tahu siapa aku
sebenarnya. Aku adalah Namrud bukan Yusuf. Dan Aku adalah Fir'aun bukan
Sulaiman. Aku adalah aku. Aku hanya ingin menemani kalian "TO HEAR",
bukan "TO LISTEN". Aku hanya ingin bilang "Aku turut berbela sungkawa"
dan tak pernah menawarkan untuk menjadi bagian dari solusi ke-bela
sungkawa-an itu. Aku hanya ingin mendengar keluh kalian, dan menyampaikannya
pada Yusuf dan Sulaiman, bukan menjadi sang pahlawan yang datang dengan
seribu janji dan harapan. Aku sangat lemah, dan memang lemah. Apa yang
aku punya adalah kepunyaan-NYA. Setiap saat bisa hilang, bisa diambil
dan bisa punah. Aku tak merasa memiliki apa pun. Aku sedang merendahkan
diri agar dibilang aku rendah hati? Tidak. Aku hanya sedang mencaci
kekurangan yang ada padaku. Aku hanya sedang menajamkan azam bahwa aku
harus berbenah.
Untuk menjadi Yusuf dan Sulaiman, tentu perlu waktu. Dan sudah pasti
itu sangat berat. Tapi bukan berarti aku tak punya harapan sedikit pun ke
arah sana. Aku ingin sekali menjadi Yusuf dan Sulaiman. Mereka adalah
bangsawan dengan latar belakang yang berlawanan. Yang satu anak orang
miskin, yang satunya anak orang kaya. Tapi mereka sama-sama berhasil
menjadi harapan bagi Zulaikha dan Balkis. Bahkan tak hanya itu, mereka
menjadi harapan bagi rakyatnya.
Dan sekarang? Aku masih menjadi Fir'aun. Fir'aun yang beda sekali
dengan Fir'aunnya Musa. Aku hanya memiliki sifatnya yang sombong dan egois,
tetapi tak mewarisi kecerdasan dan kekuasaannya yang sangat besar.
Fir'aun cap Indonesia, tepatnya. Lalu kenapa pula kalian mengira aku adalah
Yusuf atau Sulaiman? Kalian yang buta atau aku yang pandai mengibuli
kalian?
Aku memang menyayangi kalian sebagaimana aku menyayangi manusia.
Seperti sayang seorang Isa (Yesus), seperti kasih seorang Abu Bakar. Karena
cinta tak sesempit yang digambarkan dalam baitnya Dewa, Sheila, Padi,
dan manusia-manusia sok tahu lainnya. Karena cinta tak hanya dimonopoli
untuk wanita. Karena cinta tak sepicik pandangan Rama, Shinta, Romeo dan
Juliet. Karena cinta tak sebejat prasangka manusia-manusia yang merasa
suci dari birahi. Cinta adalah cinta. Tak lebih, tak kurang. Biasa
saja.
Aku terhenyak dan beranjak dari tempat dudukku, ketika aku dengar teman
kost-ku berteriak, "Reno...!!!, ada telfon dari Juwita..! Trus kemaren
Anjani titip salam..!"
Disarikan dari Cerita seorang kawan maap banget kalo ngira ini kisah pribadiku :D
<< Home