Shofa masih sibuk mengaduk-aduk masakan yang ada dalam panci. Tiba-tiba
ia teringat, ini sudah jam 1 lewat. Segera ia menyalakan radio kecil
yang berada di atas lemari makan dekat kompor. Shofa hampir tak pernah
ketinggalan acara-acara yang diisi Ustadz Hanif. Setiap jam 5 pagi, sehabis Subuh, adalah
acara rutin Shofa mendengarkan kuliah Subuh di Radio Al Quds.
Shofa bahkan hafal jam berapa dan acara apa saja yang diisi oleh Ustadz Hanif. Hal ini sudah
berlangsung tiga tahun lebih.
Entah mengapa, Shofa merasa cocok sekali dengan Ustadz yang satu ini. Kalau bicara tak pernah
bertele-tele dan selalu mengena di hati. Apa saja yang dibahas pasti
aktual, sesuai dengan masalah yang terjadi di sekitar. Kalau bicara
tentang aqidah, Ustadz Hanif selalu tegas, tidak bisa
ditawar-tawar.
Tapi kalau membahas masalah ibadah, dengan sabar Ustadz Hanif menjelaskan satu persatu
pemecahan dari berbagai pendapat ulama. Biasanya ia merekomendasikan
salah satu pemecahan yang punya dasar paling kuat. Walau begitu, ia
tetap menyerahkan kepada pendengar, pendapat mana yang akan dipakai.
Suatu penyelesaian yang cantik. Tidak fanatik terhadap satu pendapat
tertentu.
"Shofa belum pulang?" sapa Bu Arif, pengurus TPA tempat Shofa mengajar. Shofa menoleh,
"Belum Bu. Masih memeriksa pekerjaan anak-anak."
"Bisa mampir ke rumah? Bapak mau bicara. Katanya penting tuh!"
"Sekarang Bu?"
"Ya, kalau Shofa sedang tidak repot."
Shofa membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas karpet masjid
lalu berjalan mengikuti Bu Arif. Rumah Bu Arif tidak jauh dari masjid
tempat Shofa dan beberapa orang temannya mengajar anak-anak TPA. Hanya beberapa puluh
meter saja. Pak Arif dan Bu Arif adalah orang yang peduli dengan
masalah keagamaan di kompleks itu. Mereka mempelopori dibukanya TPA. Pak Arif juga selalu
menghimbau bapak-bapak di kompleks untuk sholat berjamaah.
"Assalamu'alaikum," ucap Shofa dan Bu Arif berbarengan.
"Wa'alaikum salam," jawab Pak Arif dari dalam. "Silahkan masuk nak
Shofa.
Bagaimana nak Shofa, keadaan TPA sekarang?"
"Alhamdulillah Pak. Anak-anak semakin rajin. Jarang ada yang bolos.
Mereka cepat menyerap apa yang saya ajarkan." jawab Shofa.
"Bagus! Bagus! Alhamdulillah." kata Pak Arif. "Begini nak Shofa, Bapak
ingin bicara dengan nak Shofa bukan mau membahas TPA. Ada hal yang lain."
Pak Arif terdiam. "Begini nak Shofa.... Apakah nak Shofa sudah siap
menikah?"
Shofa tersenyum. "Niat sudah ada. Usia saya sudah cukup Pak. Tapi...
belum ada jodohnya."
"Hmmmm....... begitu ya," Pak Arif berdehem sambil mengelus-elus
jenggotnya.
"Bapak punya teman baik. Dia sangat sholeh dan sedang mencari pendamping
hidup. Bapak dan Ibu berasa nak Shofa cocok dengan dia."
"Ah Pak Arif bisa saja. Bagaimana Bapak tahu saya cocok dengan dia?"
tanya Shofa tersipu.
"Lho... Bapak dan Ibu kan sudah lama memperhatikan nak Shofa. Nak Shofa
ini gadis yang sholehah dan pandai menjaga diri. Begitu pula dengan
teman Bapak ini. Dia sholeh dan berakhlak baik. Nah... kalau begini, apa
bukan cocok namanya? Iya tho Bu?" jelas Pak Arif.
"Iya... iya!" Bu Arif manggut-manggut menimpali suaminya.
"Kalau nak Shofa setuju, Bapak bisa ajak teman Bapak ke sini untuk
dipertemukan dengan nak Shofa," Pak Arif melanjutkan. "Bagaimana nak
Shofa?"
"Bapak ini kok langsung main tanya. Bapak kan belum cerita yang mau
dikenalkan ini siapa, bagaimana," tukas Bu Arif.
"Wah... dari tadi Bapak belum cerita ya? Teman Bapak ini masih muda.
Lulusan S1 dan S2 dari Al Azhar Kairo. Dia juga hafidz Quran."
"hafidz Quran?" gumam Shofa
dalam hati. Salah satu doa yang ia panjatkan adalah mendapatkan
pasangan hidup yang hafal Quran, karena ia sendiri sedang berusaha
menjadi hafidzhoh.
"Sehari-harinya dia bekerja di Lembaga Pengembangan Dakwah, mengajar di
beberapa tempat, sering mengisi ceramah. Dia mengisi acara di radio Al
Quds," papar Pak Arif.
"Radio Al Quds? Saya pendengar setia Radio Al Quds lho Pak. Namanya
siapa Pak, mungkin saja saya pernah mendengar," kata Shofa.
"Namanya Hanif Ibrahim."
Deg! Jantung Shofa serasa berhenti berdetak selama sepersekian detik.
Nama itu demikian dikenalnya dalam tiga tahun terakhir ini. Nama itu
adalah salah satu tempat dirinya menimba ilmu tentang ke-Islam-an lewat
radio. Tausiyah yang diucapkan nama itu
pula yang membuat Shofa jadi banyak berpikir, lalu berhijrah dan
memutuskan untuk menjadi muslimah yang kaffah.
Bu Arif menangkap adanya perubahan pada rona wajah Shofa. "Ada apa
Shofa?"
"Saya sering mendengarkan beliau ceramah di radio."
"Nah... jadi sebetulnya sudah kenal tho, walau pun cuma dari radio," Pak
Arif terkekeh. "Bagaimana, kapan nak Shofa siap bertemu Hanif?"
"Kapan saja, terserah Bapak. Tapi saya harus cerita dulu kepada Ibu
tentang masalah ini," jawab Shofa.
"Oohh.... ibumu sudah tahu. Kami sudah cerita. Malah Ibumu bilang kami
suruh langsung tanya saja ke nak Shofa. Ibumu setuju kok," ujar Pak
Arif.
Sepulangnya dari rumah kedua orang tua yang sudah dianggapnya keluarga
itu, Shofa bagai tak percaya apa yang baru saja terjadi. "Benarkah Ustadz Hanif jodohku?" tanyanya
dalam hati. Walaupun belum pernah bertemu, tapi Shofa merasa telah
sangat mengenal Hanif. Diam-diam sebentuk kekaguman telah bersemayam
dalam hatinya. Tidak ada cara lain bagi Shofa selain mengadukan
permasalahannya ini kepada Allah. Dihabiskannya malam-malam panjang di
atas sajadah dengan bermunajat.
Dua bulan kemudian, tibalah saat pertemuan Shofa dengan Hanif. Hari itu
Shofa tampak manis. Tubuhnya dibalut gamis biru dan jilbab lebar
berwarna putih. Ia berjalan menuju rumah Pak Arif dengan penuh
kemantapan hati, buah dari istikharahnya.
"Assalamu'alaikum," Shofa mengucap salam di depan pintu.
"Wa'alaikum salam. Nak Shofa ayo masuk. Pak Arif belum datang. Sedang
menjemput Hanif," jawab Bu Arif. Sambil menunggu, Bu Arif memberikan
wejangan bagaimana menjadi istri sholehah dengan mengutip beberapa ayat
dan hadits. Shofa mendengarkan dengan takzim. Sesekali mengangguk.
Tiba-tiba, pintu ruang tamu terbuka lebar. Lalu muncul sesuatu yang tak
disangka-sangka. Sebuah kursi roda yang berjalan tersendat karena
membentur pintu, sesosok tubuh dengan satu kaki yang duduk di atas kursi
roda, dan Pak Arif yang mendorong kursi roda sambil tersenyum.
Shofa terhenyak, memandang tak percaya. "Inikah Ustadz Hanif?" Berbagai gejolak rasa
menyergap dengan cepat. Shofa berusaha menenangkan perasaannya.
Suasana hening. Shofa bagai mampu mendengar suara detak jantungnya
sendiri.
"Nak Shofa, ini Hanif yang Bapak ceritakan dulu," kata Pak Arif memecah
kesunyian.
"Assalamu'alaikum dik Shofa," kata Hanif.
"Wa'alaikum salam," jawab Shofa. Ah, suaranya tidak berbeda dengan di
radio. Tetap berkharisma.
"Alhamdulillah, Allah mengijinkan kita untuk bertemu hari ini. Pak Arif
mungkin sudah cerita, saya memang punya niat untuk melaksanakan sunnah
Rasulullah yaitu menikah. Saya minta dicarikan calon oleh Pak Arif.
Cuma.... memang keadaan saya seperti ini. Sebulan yang lalu saya
kecelakaan.
Mobil saya tabrakan dengan truk. Tangan kiri saya lumpuh dan kaki kiri
harus diamputasi. Apapun yang terjadi sudah kehendak Allah. Kaki saya
memang tidak bisa kembali. Tapi tangan kiri saya sedang diterapi. Kata
dokter kemungkinan besar bisa pulih. Insya Allah, saya pun ingin tidak
terlalu lama bergantung pada kursi roda. Kalau sudah membaik, saya akan
menggunakan kruk
saja."
Kata-kata mengalir deras dari bibir Hanif.
Shofa mengangkat wajahnya sedikit dan melihat sekilas ke arah Hanif.
"Subhanallah. Wajahnya tenang sekali. Bahkan berseri-seri. Ada
keikhlasan yang terpancar dari wajahnya." bathin Shofa.
"Saya tidak heran jika dik Shofa tidak berkenan dengan keadaan saya.
Inilah saya. Mungkin saya yang terlalu berani tetap berniat menikah
dengan kekurangan fisik saya. Tapi, justru dengan kondisi ini saya
sangat membutuhkan kehadiran seorang istri."
Shofa diam tak bergeming. Di hadapannya sekarang, duduk seorang
laki-laki yang memiliki kelebihan-kelebihan yang didambakannya selama
ini. Sosok seorang suami yang sempurna. Ilmu agamanya bagus, sholeh,
berakhlak mulia, dan seorang hafidzh. Cita-cita Shofa adalah memiliki anak-anak yang
menjadi generasi penghafal dan pengamal Quran. Bukankah Ustadz Hanif adalah sosok yang
tepat? Kekurangannya hanya satu, fisiknya cacat tak sempurna.
"Hanif, mungkin nak Shofa belum bisa mengambil keputusan cepat-cepat.
Dia tentunya perlu menimbang-nimbang. Kita beri saja waktu,
mudah-mudahan nak Shofa bisa segera memberikan jawaban. Begitu ya nak
Shofa?" Pak Arif berusaha menengahi suasana senyap di antara
mereka.
Shofa masih saja diam tak menjawab. Sibuk berdialog dengan
bathinnya.
Tiba-tiba saja Shofa mengangkat wajahnya. "Saya sudah sholat istikharah
sejak pertama kali Pak Arif mau mengenalkan saya dengan Ustadz Hanif. Saya punya satu
pertanyaan untuk Ustadz
Hanif."
"Silahkan dik Shofa, saya akan coba menjawab," kata Hanif.
"Untuk dapat membawa istri dan anak-anaknya ke dalam surga, apakah
seorang laki-laki harus mempunyai dua kaki?" tanya Shofa.
Hanif tersenyum. "Tentu saja tidak. Bukan butuh dua kaki. Yang
dibutuhkan adalah landasan aqidah, ibadah
dan akhlak yang lurus dan kuat. Dan juga kemampuan untuk mendidik."
Shofa memandang bergantian ke arah Pak Arif, Bu Arif dan Hanif. Bibirnya
membiaskan senyum yang lebar.
"Saya sudah mantap. Saya tidak membutuhkan suami dengan dua kaki."
"Alhamdulillah!" berbarengan Pak Arif, Bu Arif, dan Hanif berseru.
...
Resepsi pernikahan baru saja usai. Shofa mendorong kursi roda Hanif
menuju kamar pengantin. Kedua pengantin itu berwajah cerah ceria. Hanif
begitu tampan dan gagah dengan jas dan kopiah hitam. Shofa tampak
cantik, bergaun putih dan jilbab yang diberi rangkaian melati. Hanif
meletakkan tangannya di atas kening istrinya, lalu membaca doa, "Dengan
nama Allah, jauhkanlah kami dari syetan dan jauhkanlah dari syetan apa
yang engkau rizkikan, anak-anak kepada kami."
Shofa menggamit dan mencium tangan suaminya dengan takzim.
"Kak Hanif, boleh Shofa mengutarakan sesuatu?" tanya Shofa.
"Kak Hanif juga cinta dik Shofa karena Allah." Hanif menyentuh dagu
Shofa, mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan. Lekat. Ada debur yang
menggelora di jiwa mereka berdua. "Lho kok nunduk. Kita sudah resmi
suami istri. Pandang kak Hanif dong!" Hanif menggoda Shofa.
Shofa memandang Hanif tersipu.
"Ayo kita sholat dulu," kata Hanif.
"Shofa bantu kak Hanif wudhu ya," Shofa langsung beranjak dari duduknya
dan mendorong kursi roda kekasih jiwanya ke kamar mandi.
Bersama percikan air wudhu yang menetes, Allah tebarkan rahmat dan cinta
di antara kedua mahluk kecintaan-Nya.
(terinspirasi dari Syekh Ahmad Yasin yang tetap berjihad dari kursi roda
hingga syahidnya)
by radoek
...
Sedikit komentar: Setelah membaca tulisan di atas dg
cukup teliti, timbul beberapa pertanyaan yg cukup mengganggu pikiran
saya. Sungguhkah, dg menerima kecacatan di dunia, maka Shofa bakal
mendapatkan kesempurnaan di akhirat kelak? Sungguhkah kesempurnaan
kebahagiaan di akhirat dapat teraih walau dg kecacatan kebahagiaan di
dunia? Mengapa kecelakaan terjadi pd Hanif, sedangkan dia adalah pribadi
nyaris sempurna yg semestinya mendapat perlindungan dari Yg Maha
Melindungi? Dan jika cerita di atas memang terjadi pada kehidupan nyata.
Dari data dan fakta yg tersurat pada cerita di atas. Sungguhkah
keadilan telah berlaku pd Shofa, Hanif, ortu-nya Shofa, ortu-nya Hanif,
dan tokoh lain yg berkepentingan? Dan pertanyaan terakhir. Mengapa
pertanyaan2 ini bisa timbul di benak saya? Kenapa kenapa kenapa? :)
Post a Comment
<< Home