Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju
rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut
menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama,
keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang
becak...?"
Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng
di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh,
puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan...," gumamku.
Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang
goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya,
dan... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan
yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang
tengah berpuasa.
"mmm... abang muslim bukan?" tanyaku ragu-ragu.
"Ya dik, saya muslim..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh.
"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan.
Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak
berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan
seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa..." deras
aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.
Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu
menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih
menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil
memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.
"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak.
Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng
ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini."
Tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk memotongnya,
"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak
asing lagi dengan puasa," jelas bapak tukang becak itu.
"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka.
Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti
adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang
harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya..."
"Jadi...," belum sempat kuteruskan kalimatku,
"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus
berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan..."
"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng
ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang
yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya
di tempat tujuan.
Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya
saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke
dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat
orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya.
Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan
berputar...
Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya
sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa
orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan
kepedulian saya?
"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."
"hmm, simpan saja buat sahur bapak besok ya..."
Saya jadi teringat seorang teman di Kelompok Kerja Sosial Melati, ia
punya motto hidup yang sederhana, "Kami Peduli"
Sebuah saduran yg saya dapat via e-mail. Entah siapa yg menulisnya...
Mudah2an dapat mengetuk nurani kita utk tdk hanya mementingkan kebutuhan
perut sendiri. Hidup ReKonsiliasi Indonesia! (rkm)
Post a Comment
<< Home