Oase edisi LXII (Istri dambaan)
Untukmu Yang Selalu Setia. To all girls in the world...
Hari itu di pemakaman, siang begitu terik dan menyengat. Para pelayat
yang kebanyakan berbaju hitam memadati lokasi pemakaman. Di antara
begitu banyak orang, wanita cantik itu berdiri mengenakan pakaian dan
kerudung berwarna putih, ekspresi tenang terlihat di raut wajah yang
tersaput kesedihan.
Pada saat penguburan berlangsung, sebelum jenazah dimasukkan ke liang
lahat, wanita itu mendekati jenazah yang terbungkus kain kafan kemudian
mencium bagian kening jenazah dan membisikkan kata-kata tak terdengar
dengan perasaan dan suasana yang sulit kulukiskan. Aku melihat keharuan
di antara para pelayat menyaksikan adegan itu.
Wanita itu adalah istri dari laki-laki yang pada hari itu dikubur.
Setelah acara penguburan selesai satu persatu pelayat mengucapkan
kalimat duka cita kepada wanita tersebut yang menyambut ucapan itu
dengan senyuman manis dan kesedihan yang telah hilang dari wajahnya,
seolah-olah pada saat yang seharusnya menyedihkan itu dia merasa
bahagia.
Kudekati wanita itu.
"Kak, yang sabar ya, insya Allah abang diterima dengan baik di
sisi-Nya," ujarku perlahan. Dia menatapku dengan senyuman tanpa
kata-kata. Rasa penasaran menyeruak dalam hatiku melihat ekspresinya.
Tapi perasaan itu tidak kuungkapkan.
Beberapa hari setelah pemakaman itu, aku datang ke rumah wanita itu.
Kudapati ia sedang mengurus kembang mawar putih seperti apa yang sering
dilakukannya. Kusapa dia dengan wajar, "Assalaamu'alaikum, sedang sibuk
kak?" tanyaku. "Wa'alaikumsallam... Oh adik, ayo duduk dulu," jawabnya
seraya membereskan perlengkapan tanaman. "Saya mengganggu kak?" tanyaku
lagi, "Kenapa harus mengganggu dik, ini kakak sedang menyiapkan bunga
untuk dzikir nanti malam," jawabnya.
Sesaat setelah jawaban terakhir suasana hening terjadi di antara kami.
Dengan hati-hati kuajukan perasaan yang selama beberapa hari mengganjal
di hatiku. "Kak, apakah kakak tidak merasa sedih dengan kepergian
abang?" tanyaku.
Dia menatapku dan berkata, "Kenapa adik bertanya seperti itu?"
Aku tidak segera menjawab karena takut dia tersinggung, dan, "Karena
kakak justru terlihat bahagia menurut adik, kakak tersenyum pada saat
pemakaman dan bahkan tidak mencucurkan airmata pada saat kepergian
abang," ujarku.
Dia menatapku lagi dan menghela nafas panjang. "Apakah kesedihan selalu
berwujud air mata?" Sebuah pertanyaan yang tidak sanggup kujawab.
Kemudian dia meneruskan kembali perkataanya. "Kami telah bersama sekian
lama, sebagai seorang wanita aku sangat kehilangan laki-laki yang
kucintai, tapi aku juga seorang istri yang memiliki kewajiban terhadap
seorang suami. Dan keegoisanku sebagai seorang wanita harus hilang
ketika berhadapan dengan tugasku sebagai seorang istri," katanya
tenang.
"Maksud kakak?" aku tambah penasaran.
"Sebuah kesedihan tidak harus berwujud air mata, kadang kesedihan juga
berwujud senyum dan tawa. Kakak sedih sebagai seorang wanita tapi
bahagia sebagai seorang istri. Abang adalah seorang laki-laki yang baik,
yang tidak hanya selalu memberikan pujian dan rayuan tapi juga teguran.
Dia selalu mendidik kakak sepanjang hidupnya. Abang mengajarkan kakak
banyak hal. Dulu abang selalu mengatakan sayang pada kakak setiap hari
bahkan dalam keadaan kami tengah bertengkar. Kadang ketika kami tidak
saling menyapa karena marah, abang menyelipkan kata sayang pada kakak
di pakaian yang kakak gunakan. Ketika kakak bertanya kenapa? abang
menjawab, karena abang tidak ingin kakak tidak mengetahui bahwa abang
menyayangi kakak dalam kondisi apapun, abang ingin kakak tau bahwa ia
menyayangi kakak. Jawaban itu masih kakak ingat sampai sekarang. Wanita
mana yang tidak sedih kehilangan laki-laki yang begitu menyayanginya?
Tapi..."
Dia menghentikan kata-katanya.
"Tapi apa kak?" kejarku.
"Tapi sebagai seorang istri, kakak tidak boleh menangis," katanya
tersenyum.
"Kenapa?" tanyaku tidak sabar. Perlahan kulihat matanya menerawang.
"Sebagai seorang istri, kakak tidak ingin abang pergi dengan melihat
kakak sedih, sepanjang hidupnya dia bukan hanya laki-laki tapi juga
seorang suami dan guru bagi kakak. Dia tidak melarang kakak bersedih,
tapi dia selalu melarang kakak meratap, kata abang, Allah tidak suka
melihat hamba yang cengeng, dunia ini hanya sementara dan untuk apa
ditangisi."
Wanita itu melanjutkan, "pada satu malam setelah kami sholat malam
berjamaah, abang menangis, tangis yang tidak pernah kakak lupakan, abang
berkata pada kakak bahwa jika suatu saat di antara kami meninggal lebih
dahulu, masing-masing tidak boleh menangis, karena siapa pun yang pergi
akan merasa tidak tenang dan sedih, sebagai seorang istri, kakak wajib
menuruti kata-kata abang."
"Pemakaman bukanlah akhir dari kehidupan tapi adalah awal dari
perjalanan, kematian adalah pintu gerbang dari keabadian. Saat di dunia
ini kakak mencintai abang dan kita selalu ingin berada bersama dengan
orang yang kita cintai, abang adalah orang baik. Dalam perjalanan waktu
abang lah yang pertama kali dicintai Allah dan diminta untuk
menemui-Nya, abang selalu mengatakan bahwa baginya Allah SWT adalah sang
Kekasih dan abang selalu mengajarkan kakak untuk mencintai-Nya. Saat
seorang Kekasih memanggil apakah kita harus bersedih? Abang bahagia
dengan kepergiannya. Dalam syahadatnya abang tersenyum dan sungguh
egois jika kakak sedih melihat abang bahagia," sambungnya.
Tanpa memberikan kesempatan untuk aku berkata, serangkaian kata terus
mengalir dari wanita itu, "Kakak bahagia melihat abang bahagia dan kakak
ingin pada saat terakhir kakak melihat abang, kakak ingin abang tau
bahwa baik abang di dunia maupun di akhirat, kakak mencintainya dan
berterima kasih pada abang karena abang telah meninggalkan sebuah harta
yang sangat berharga untuk kakak yaitu cinta pada Allah SWT. Dulu abang
pernah mengatakan pada kakak jika kita tidak bisa bersama di dunia ini
kakak tidak perlu bersedih karena sebagai suami istri, kakak dan abang
akan bertemu dan bersama di akhirat nanti bahkan di surga selama kami
masih berada dalam jalan Allah. Dan abang telah memulai perjalanannya
dengan baik, doakanlah kakak ya dik, semoga kakak bisa memulai
perjalanan itu dengan baik pula. Kakak sayang abang dan kakak ingin
bertemu abang lagi."
Kali ini kulihat kakak tersenyum dan dalam keheningan taman aku tak
mampu berkata-kata lagi.
Post a Comment
<< Home