|
Wednesday, October 27, 2004
Tak Perlu Ajari Kami Berpuasa
Hari ke tiga di bulan ramadhan saya berkesempatan menumpang becak menuju
rumah ibu. Sore itu, tak biasanya udara begitu segar, angin lembut
menerpa wajah dan rambutku. Namun kenikmatan itu tak berlangsung lama,
keheninganku terusik dengan suara kunyahan dari belakang, "Abang
becak...?"
Ya, kudapati ia tengah lahapnya menyuap potongan terakhir pisang goreng
di tangannya. Sementara tangan satunya tetap memegang kemudi. "Heeh,
puasa-puasa begini seenaknya saja dia makan...," gumamku.
Rasa penasaranku semakin menjadi ketika ia mengambil satu lagi pisang
goreng dari kantong plastik yang disangkutkan di dekat kemudi becaknya,
dan... untuk kedua kalinya saya menelan ludah menyaksikan pemandangan
yang bisa dianggap tidak sopan dilakukan pada saat kebanyakan orang
tengah berpuasa.
"mmm... abang muslim bukan?" tanyaku ragu-ragu.
"Ya dik, saya muslim..." jawabnya terengah sambil terus mengayuh.
"Tapi kenapa abang tidak puasa? abang tahu kan ini bulan ramadhan.
Sebagai muslim seharusnya abang berpuasa. Kalau pun abang tidak
berpuasa, setidaknya hormatilah orang yang berpuasa. Jadi abang jangan
seenaknya saja makan di depan banyak orang yang berpuasa..." deras
aliran kata keluar dari mulutku layaknya orang berceramah.
Tukang becak yang kutaksir berusia di atas empat puluh tahun itu
menghentikan kunyahannya dan membiarkan sebagian pisang goreng itu masih
menyumpal mulutnya. Sesaat kemudian ia berusaha menelannya sambil
memperhatikan wajah garangku yang sejak tadi menghadap ke arahnya.
"Dua hari pertama puasa kemarin abang sakit dan tidak bisa narik becak.
Jujur saja dik, abang memang tidak puasa hari ini karena pisang goreng
ini makanan pertama abang sejak tiga hari ini."
Tanpa memberikan kesempatan kepadaku untuk memotongnya,
"Tak perlu ajari abang berpuasa, orang-orang seperti kami sudah tak
asing lagi dengan puasa," jelas bapak tukang becak itu.
"Maksud bapak?" mataku menerawang menunggu kalimat berikutnya.
"Dua hari pertama puasa, orang-orang berpuasa dengan sahur dan berbuka.
Kami berpuasa tanpa sahur dan tanpa berbuka. Kebanyakan orang seperti
adik berpuasa hanya sejak subuh hingga maghrib, sedangkan kami kadang
harus tetap berpuasa hingga keesokan harinya..."
"Jadi...," belum sempat kuteruskan kalimatku,
"Orang-orang berpuasa hanya di bulan ramadhan, padahal kami terus
berpuasa tanpa peduli bulan ramadhan atau bukan..."
"Abang sejak siang tadi bingung dik mau makan dua potong pisang goreng
ini, malu rasanya tidak berpuasa. Bukannya abang tidak menghormati orang
yang berpuasa, tapi..." kalimatnya terhenti seiring dengan tibanya saya
di tempat tujuan.
Sungguh. Saya jadi menyesal telah menceramahinya tadi. Tidak semestinya
saya bersikap demikian kepadanya. Seharusnya saya bisa melihat lebih ke
dalam, betapa ia pun harus menanggung malu untuk makan di saat
orang-orang berpuasa demi mengganjal perut laparnya.
Karena jika perutnya tak terganjal mungkin roda becak ini pun tak kan
berputar...
Ah, kini seharusnya saya yang harus merasa malu dengan puasa saya
sendiri? Bukankah salah satu hikmah puasa adalah kepedulian? Tapi kenapa
orang-orang yang dekat dengan saya nampaknya luput dari perhatian dan
kepedulian saya?
"Wah, nggak ada kembaliannya dik..."
"hmm, simpan saja buat sahur bapak besok ya..."
Saya jadi teringat seorang teman di Kelompok Kerja Sosial Melati, ia
punya motto hidup yang sederhana, "Kami Peduli"
Sebuah saduran yg saya dapat via e-mail. Entah siapa yg menulisnya...
Mudah2an dapat mengetuk nurani kita utk tdk hanya mementingkan kebutuhan
perut sendiri. Hidup ReKonsiliasi Indonesia! (rkm)
published by: Monsieur RaKah @ 27.10.04
dia ditakdirkan bukan untukmu, kawan!
Aku berlindung pada Tuhan Yang Maha Suci. Puji syukur telah Engkau
ciptakan dia, Kau pertemukan aku dengan dia, walaupun Engkau
membatasinya hanya untuk sejauh membina persahabatan. Manusia punya
keinginan, Engkau yang menentukan ketersediaan kesempatan untuk
berusaha, dan kemudian ditetapkanlah pula oleh-Mu, hasil yang terbaik
bagi ciptaan-Mu.
Ya, dia cantik, dia jelita, dia manis, senyumnya mempesonaku. Ya, dia
lawan jenis yang sempurna, dia layak untuk diperjuangkan, dia layak
untuk didapatkan. Hampir semua kawan pria mendekatinya, mencoba
mengambil simpati darinya, berusaha agar bisa singgah dalam hatinya,
berusaha agar selalu terlintas di dalam pikirannya. Bagi para pengagum
rahasia, keinginan, asa dan harapan seperti telah disebutkan mesti
terbersit di dalam sanubari. Tak terkecuali aku, dahulu. Ya, asam di
gunung, garam di laut, bertemu di dalam sebuah belanga. Begitu pun kami.
Berbeda kota, berbeda Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, bertemu di kota
yang sama, dalam sebuah Sekolah Menengah Kejuruan yang sama, bahkan
pernah setahun berada di kelas yang sama.
Inisial namanya terkenang di dalam ingatanku untuk waktu yang cukup
lama, bahkan setelah kami menuntaskan tiga tahun pendidikan di Sekolah
Menengah Kejuruan. Entah dia menyadari atau tidak, kami pernah
diperdampingkan oleh guru Bimbingan Penyuluhan kami saat penyematan
simbolis name tag siswa/i baru, pada acara pembukaan Penataran P4 dan
orientasi siswa Sekolah Menengah Kejuruan kami. Waktu itu, irama detak
jantungku berdegup kian cepat, karena mesti berjalan seiring kompak
dengan seorang anak perempuan yang imut-imut, lucu, cantik, manis,
terlihat cerdas dan menawan, walau hanya sekedar menjemput name tag
untuk disematkan oleh kepala sekolah. Permasalahan intinya, kami belum
saling mengenal, bahkan tahu nama pun hanya sekedar untuk saling sapa
saja. Aku sadar bahwa saat itu banyak pasang mata tertuju pada kami
berdua, mungkin ada juga kawan pria yang sempat berandai-andai mendapat
keberuntungan untuk berdekatan, bersanding, berdiri persis di
sebelahnya, berjalan satu irama langkah, untuk disematkan name tag
secara simbolis, seperti yang sedang aku alami, waktu itu.
Kelas pun dibagikan, daftar nama diumumkan. Kami ditempatkan di kelas
yang terpisah. Mulailah masa orientasi siswa. Masih diwajibkan
mengenakan seragam Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama asal masing-masing.
Dia begitu supel, ramah, dan mudah bergaul. Para senior kakak kelas pria
dominan suka padanya, sementara kebanyakan senior kakak kelas wanita
yang kebetulan jumlahnya sedikit dan hanya beberapa orang, juga suka
akan parasnya. Dia memang rupawati. Entah dia menyadari atau tidak,
setiap kata-kata dan kalimat-kalimat yang terucap dari mulutnya selalu
indah terdengar. Aku? Walaupun rupaku rupawan, dan walaupun tutur kataku
santun, aku paling tidak suka yang namanya otoriterisme, dengan segala
bentuk aplikasinya. Aku tidak suka gagah-gagahan ala senioritas, masa
orientasi siswa pun kuhabiskan dengan lebih sering menyendiri. Aku hanya
mengikutsertakan diri pada kegiatan yang bersifat kelompok. Buku
kumpulan tanda tangan senior kakak kelas pun nyaris kosong melompong tak
ada isinya. Aku tidak peduli dengan bualan hukuman dan bermacam sangsi
yang di-teror-kan oleh para diktator aji mumpung itu, aku seperti
mempunyai keberanian luar biasa untuk mengabaikan segala bentuk ancaman
dan bujukan. Sungguh, aku amat tidak suka kekerasan dan perploncoan, aku
juga tidak sudi menjadi tontonan dan dipermalukan.
Seperti biasa. Pada hari terakhir, kami para siswa/i baru, dikumpulkan
di tanah lapang. Kami semua diperintahkan untuk menunduk, dilarang
menegakkan kepala. Diam-diam, sempat kulirik beberapa wajah kawan
senasib seperjuangan yang pucat letih, kupikir mesti akibat plonco yang
memang melelahkan bahkan mempermalukan itu. Aku tersenyum di dalam hati,
ketika kulihat dia yang duduk bersimpuh berjauhan jarak dariku, wajahnya
masih bersinar, mencerminkan semangat. Sifat pantang menyerah yang
membuatnya bertambah mempesonaku. Mata kami sempat saling beradu tatap
untuk sepersekian detik, dan kemudian...
Suasana mendadak diliputi ketegangan. Dengan mengintip diam-diam,
kulihat seniorku menarik seorang kawan pria ke depan, membentak dangan
nada tinggi, "Siapa suruh lihat-lihat...? Siapa suruh nggak menunduk...?
Kamu melawan ya???" Lalu dengan postur ketakutan, kawan pria itu
menjawab, "Ampun kak, saya nggak lihat-lihat... Dari tadi saya menunduk
koq..." Lalu disusul bentakan bertubi-tubi, "Bohong!!! Kamu melawan YA?
Kamu mau jadi jagoan YA?"
Sekitar tiga tahun kami menekuni beragam materi dan bermacam latihan
dari guru matematika, guru digital ilmu komputer, guru bahasa inggris,
guru agama, guru Customer Service Training Program, guru fisika, guru
gambar teknik, guru olahraga dan kesehatan, guru Sejarah Nasional
Indonesia dan Dunia, serta beberapa karyawan perusahaan sponsor yang
peduli dengan keberadaan sekolah kami. Paralel, dia merintis bisnis,
menjual produk kelontong, mungkin terpicu dengan kepergian ayahandanya
menghadap Yang Maha Kuasa. Banyak teman-teman pria yang pe-de-ka-te
alias pendekatan padanya, namun tak satu pun yang mendapatkan angin
segar, tak seorang pun yang sukses lulus seleksi dan menjadi kekasihnya,
itu yang aku ketahui. Aku? Aku sibuk sendiri menyelamatkan nilai rapor
supaya bisa dibanggakan, bersembunyi sambil mengamati dan menganalisa
situasi, hingga tersadarkan oleh keadaan, bahwa situasi telah berubah
dengan begitu cepat. Aku terikat kontrak pendidikan untuk tidak menikah
selama tiga tahun. Sementara dia, kabar yang kudengar, dia sempat
bekerja di pabrik produk elektronik. Sampai kemudian, salah satu
perusahaan sponsor memilih dan memanggil dia untuk mengikuti pendidikan
sistem ganda. Selepas itu, dia menemukan jalan karir dan sekaligus
bertemu jodohnya.
Terima kasih untukmu. Sosok dirimulah yang menemani masa pubertas saya.
Sosok dirimulah yang menjadi salah satu hal penting dalam pendewasaan
diri saya. Dan walaupun saya bertahan sendirian, namun sungguh berat
berusaha mengabaikan sosokmu yang kadung pernah bermarkas di benak saya.
Tidak dapat saya sangkal, pernah ada waktu ketika saya menulis kode
pemrograman dan desain web, inisial namamu terasa seperti memberi
semangat, inspirasi dan motivasi untuk berkarya. Keinginan dan gairah
muncul berulang-ulang, keinginan dan gairah untuk menjadi pasangan
hidupmu, berdua melukis dunia dengan kebahagiaan, namun selalu saja saya
alihkan energi itu menjadi energi kreativitas. Hingga takdir dan
ketentuan Tuhan Yang Maha Kuasa menyurutkan niat dan keinginan itu,
seperti membentak saya bahwa dia bukanlah diciptakan untuk saya,
membisikkan berulang-ulang bahwa saya harus berani menatap dan
menghadapi kenyataan, karena kenyataan adalah yang terbaik bagi semua.
Teriring salam untuk kakandamu, doa untuk putramu, salam dan doa
untukmu, semoga menjadi keluarga bahagia lahir dan batin. Terima kasih
sudah menyempatkan diri membaca tulisan saya.
Labels: curhat, kenangan, refleksi
published by: Monsieur RaKah @ 8.10.04
|
|